Kisah Telusur Jejak Dibalik Skandal Surga Pajak


Sumber : Bakrie Morning Show

Suasana kantor berita Tempo siang itu tampak ramai. Seperti hari-hari biasanya, ruang redaksi selalu riuh dengan obrolan berita. Pada suatu ruangan diskusi, Wahyu Dhyatmika meluangkan waktunya untuk diwawancara. Editor Executive Tempo ini memiliki jadwal yang padat. “Maaf ya saya nggak bisa lama-lama.”
Wahyu Dhyatmika
Sumber : Istimewa
Wahyu Dhyatmika, yang memulai karir wartawannya di Tempo 16 tahun silam itu memimpin tim investigasi Tempo dalam kasus The Panama Papers yang dilakukan secara kolaborasi bersama ICIJ (International Consortium of Investigative Journalists) dan melibatkan 370 jurnalis dari 76 negara yang berbeda. Investigasi kolaborasi skala internasional ini telah mendapatkan penghargaan Pullitzer 2017 untuk kategori Explanatory Reporting yang diumumkan pada 10 April 2017, di Columbia University, Amerika Serikat.

Pria yang akrab di sapa Komang ini bercerita awal mula keterlibatan Tempo salah satunya karena peran Goenawan Muhammad, pendiri sekaligus mantan pemred Tempo. Selain itu, track record Tempo sebagai media investigasi menjadi penilaian khusus bagi ICIJ sehingga memutuskan meminang Tempo dalam kolaborasi internasional tersebut. Tempo menjadi satu-satunya media di Indonesia yang ikut serta dalam investigasi ini. ICIJ sendiri merupakan organisasi yang beranggotakan wartawan-wartawan dari seluruh dunia.
Philipus Parera
Sumber : Istimewa
Selang beberapa waktu, cerita investigasi ini berlanjut pada Philipus Parera, wartawan Tempo yang ikut terlibat proyek investigasi pajak ini. Sebelum melakukan investigasi kasus Panama Papers, ICIJ dan Tempo pernah melakukan kerjasama dalam proyek HSBC, namun karena kasus ini tidak terlalu besar maka hanya disebarluaskan melalui online. Ketika menemukan petunjuk mengenai Panama Papers, ICIJ kembali menghubungi Tempo dan membuat perjanjian kerjasama. Menurutnya, proses investigasi ini berjalan secara efektif mulai dari bulan Oktober 2015 hingga April 2016 pada saat menerbitkannya secara serentak.
Komang menceritakan bahwa pada tahap pertama, tim investigasi yang dilibatkan dalam proses Panama Papers ini memang sangat sedikit, yaitu hanya dirinya dan Philipus saja. Hal ini agar proses investigasi berjalan dengan efektif dan tidak banyak orang yang mengetahuinya terlebih dahulu. Hanya Pemimpin Redaksi dan dua orang yang dilibatkan itu tadi. Philipus menambahkan, sangat sulit menjalani investigasi ini karena data yang dimiliki sebanyak 11.5 juta data dan jika menuliskan kata kunci ‘Indonesia’ akan muncul puluhan ribu dokumen yang harus ditelusuri.
Disisi lain, tanggung jawab yang dipegang oleh Komang dan Philipus sebagai redaktur pelaksana yang memiliki tanggung jawab manajerial tidak dapat melakukan pekerjaan turun lapangan setiap harinya. Namun, saat proses investigasi sudah hampir selesai yaitu kira-kira 1 tahun lamanya, baru ditambahkan sekitar 3-4 orang untuk menggarap tulisan hasil investigasi dan konfirmasi-konfirmasi di lapangan. Tim investigasi ini dipilih karena memiliki keterampilan teknis dan waktu yang cukup dalam melakukan pekerjaan ini.
Pada proses penelusurannya, terdapat tiga cluster untuk mengkategorikan orang-orang yang namanya tercatat pada dokumen yang diperoleh koran di Jerman tersebut.
Pertama, mereka yang melanggar hukum sehingga harus dicari arsip-arsipnya terkait dengan hukum pidana pajak yang belum selesai kemudian dicocokkan dengan data Panama Papers. Pengusaha Djoko Tjandra yang pernah di vonis bersalah karena kasus Bank Bali, kemudian ia melarikan diri sebelum menjalani putusan pengadilan. Adik dari mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang kini tengah berproses dengan hukum karena proyek E-KTP, namanya juga masuk dalam daftar dokumen Panama.
Cluster kedua adalah para pejabat publik seperti menteri, kapolri, panglima TNI, direktur BUMN yang secara Undang-Undang diharuskan untuk melaporkan kekayaannya ke KPK dan langsung di cek kekayannya. Kalau ada perusahaan yang mereka punya tetapi ditemukan di dalam Panama Papers dan tidak dilaporkan kepada KPK berarti ini suatu temuan yang patut untuk diselidiki. Dalam cluster ini terdapat nama Luhut Panjaitan, Harry Azhar Azis (Ketua BPK) yang ditemukan ada perbedaan antara data laporan, data kekayaan dan data Panama Papers. Banyak jawaban yang mereka lontarkan terkait kasus itu tetapi belum terbukti kebenarannya.
 Terakhir, cluster ketiga adalah para pengusaha yang ditemukan datanya di Panama Papers terkait dengan kemungkinan pengelabuan pajak.
Keterlibatan orang-orang tersebut karena ketertarikannya pada perusahaan cangkang yang ditawarkan. Tekstil, otomotif, energy, migas, dan kelapa sawit adalah sektor yang paling banyak diminati. Secara struktur, perusahaan manufaktur biasanya merupakan bagian dari penanaman modal asing, terkait pemilik dari luar negeri. Hal tersebut sering menuntut sektor manufaktur untuk mempunyai perusahaan cangkang, namun bukan berarti hal tersebut melanggar hukum. Dibutuhkan beberapa langkah lagi untuk memverifikasi apakah hal tersebut melanggar hukum atau tidak.
            Perusahaan cangkang penting untuk melakukan keterbukaan data karena dengan hal itu kita menjadi tahu siapa pemilik akhir dari setiap perusahaan tersebut. Misalnya, seperti ketersediaan data terkait kepemilikan tanah, kita menjadi tahu bagaimana properti-properti di kota-kota besar di Indonesia dikuasai oleh sekelompok orang. Jadi, keterbukaan data itu sangat penting untuk mengkroscek. Selain temuan data yang ada di Panama Papers, perlu juga dilakukan kroscek data-data yang ada di Indonesia untuk melihat latar belakang serta informasi lainnya dari pendirian perusahaan cangkang tersebut.

Reaksi Panama Papers di Indonesia

Ilustrasi : Rafika

Ada dampak yang terjadi di Indonesia setelah berita kasus Panama Papers diterbitkan, antara lain kesadaran baru akan pentingnya meregulasi keberadaan perusahaan-perusahaan cangkang. Mungkin selama ini, regulasi pemerintah untuk mencegah pelarian modal atau mencegah perusahaan-perusahaan serta individu menyembunyikan hartanya dari otoritas pajak itu masih kurang. Dengan adanya Panama Papers, publik menjadi lebih peduli terhadap persoalan ini dan memberi tekanan kepada pemerintah untuk menciptakan regulasi-regulasi yang dapat mengatur itu semua. Itu sebabnya  beberapa bulan setelah Panama Papers, kebijakan tax amnesty semakin digaungkan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut salah satunya memang muncul untuk menjadi solusi dari pelarian-pelarian kekayaan atau upaya menyembunyikan harta dari otoritas pajak.
Tax amnesty sendiri mungkin sudah direncanakan setahun sebelumnya. Namun, memang mendapatkan momentum seolah Panama Papers menjadi justifikasi akan pentingnya kebijakan seperti tax amnesty, karena Panama Papers membuka mata masyarakat bahwa banyak perusahaan atau individu yang kekayaannya tidak terdeteksi oleh otoritas pajak. Tax amnesty adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghimbau serta memberi ruang kepada masyarakat agar melaporkan kekayaannya dan tak perlu takut di hukum. Diluar itu, Staf Presiden dan Direktorat Pajak mengundang tim investigasi Tempo untuk berdiskusi tentang temuan-temuan Panama Papers agar pemerintah mendapatkan saran supaya kedepannya dapat memformulasikan kebijakan-kebijakan yang pas untuk masyarakat Indonesia.
Namun, pemerintah tidak bekerjasama dengan tim investigasi Tempo karena data-data tersebut bukan milik Tempo, melainkan tetap milik ICIJ. Tim investigasi Tempo tidak memiliki otoritas untuk membagi atau menyebarluaskan data tersebut kepada pihak lain. Memang ada banyak permintaan dari pemerintah untuk mengakses data itu tetapi tidak dapat diberikan karena perjanjian yang telah dibuat antara pihak ICIJ dan Tempo.

Jalan Terjal Mencari Asal

Dalam proses investigasi kasus Panama Papers ini, kesulitan terbesar yang dihadapi adalah kondisi keterbukaan data yang sangat minim. Ketika ditemukan sebuah temuan baru dan ingin melakukan cross references ke data terbuka lain seperti kepemilikan perusahaan, kepemilikan properti, pelanggaran hukum, itu tidak semua data-data tersebut tersedia. Butuh kesabaran untuk mengumpulkan dan mengkompilasi fakta-fakta yang bertebaran. Idealnya, seperti di negara maju, data tentang pemilik terakhir dari sebuah perusahaan itu tersedia untuk publik. Selain itu, data tentang kepemilikan tanah, properti, pelanggaran hukum, pihak DPR yang membantu, bagaimana sebuah Undang-Undang dibuat, dari mana sumber dananya, itu juga tersedia. Lain halnya dengan Indonesia, data tersebut belum tersedia sehingga menjadi hambatan.
Selain itu, menurut Philipus perbedaan jarak yang jauh antara wartawan yang berkolaborasi juga menjadi salah satu kesulitan yang dialami oleh Tempo. Namun perbedaan jarak ini menimbulkan prinsip kerja diantara jurnalis. Tugas para jurnalis yang berkolaborasi bersama ICIJ, melakukan investigasi untuk menyelidik data atau informasi pada tokoh-tokoh negaranya yang terlibat dalam Panama Papers ini. Dan jika ada dokumen atau fakta yang ditelusuri hingga keluar negeri, maka Tempo akan meminta bantuan kepada wartawan yang berdomisili di negara tersebut untuk menyelidikinya melalui platform untuk saling memberi informasi seperti chatting ataupun melalui Skype.
Selain dapat bertukar pesan melalui platform yang telah disediakan, para jurnalis dapat mengakses data melalaui database yang telah dibentuk sedemikian rupa oleh ICIJ dengan pengamanan yang berlapis. Ketika jurnalis akan mengakses database tersebut, maka harus melakukan login berkali-kali. Hal ini dilakukan karena data sangat dijaga kerahasiaannya.
Faktanya adalah informasi terkait perusahaan atau individu di Indonesia yang diduga terlibat dalam kasus ini sebenarnya ada di tangan pemerintah, mustahil jika pemerintah tidak mengetahuinya. Misalnya, data pemilik rekening perbankan tersedia di bank, data tentang jumlah rumah yang dimiliki seseorang juga tersedia di BPN (Badan Pertahanan Nasional) atau di Kantor Balaikota yang menerbitkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Namun, semua data-data tersebut terpisah, tidak dikompilasi menjadi sebuah database yang terpadu. Sampai pada saat ini, data perbankan tidak dapat diakses oleh Direktorat Pajak karena ada Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bahwa rekening bank bersifat rahasia. Artinya, data-data tersebut ada dan dapat diakses kalau pemerintah mengerti akan pentingnya mengetahui data-data ini. Pada kasus ini, Panama Papers mengekspos agar pemerintah menganggap bahwa kasus ini sebagai masalah yang penting. Jadi, jangan berpikir bahwa hal ini tidak ada. Nah, tekanan ini yang diharapkan supaya pemerintah melakukan sesuatu dan mendayagunakan aparaturnya untuk mengambil kebijakan ini.
Bagi Tempo sendiri, mengenai nama-nama terkenal di Indonesia yang terlibat dalam kasus ini, Tempo tidak mendapatkan ancaman atau kecaman. Philipus mengatakan, dalam dunia jurnalistik Indonesia paska Orde Baru, lebih bebas dan tingkat mendapat ancaman juga menurun. Hanya yang terasa ketika media jauh dari Jakarta, karena penguasa di daerah tersebut sangat kuat. Hanya saja saat berita investigasi telah diterbitkan, muncul ancaman untuk menggugat tetapi hal itu wajar bagi pihak yang merasa dirugikan. Dalam beberapa kasus, Tempo divonis bersalah oleh Dewan Pers sehingga harus meminta maaf. Untuk ke depannya, wartawan tak perlu takut apabila diancam karena sudah zamannya kebebasan pers jadi seharusnya tidak ada alasan wartawan tidak melakukan investigasi.
Hampir di setiap berita investigasi yang akan diterbitkan pasti menimbulkan perdebatan-perdebatan di ruang redaksi. Terutama, jika di dalam berita tersebut menyangkut nama-nama besar karena ingin memastikan bahwa ada bukti yang dapat mengaitkan nama dengan temuan data yang sudah didapatkan itu. Justru apabila di dalam ruang redaksi tidak terjadi perdebatan berarti ada yang salah di dalamnya.
Perkembangan terakhir terkait kasus Panama Papers pada saat ini adalah dengan ditutupnya kantor pengacara Mossack Fonseca yang dilakukan oleh otoritas pajak di Panama. Orang-orang yang berada di balik pembuatan perusahaan-perusahaan cangkang ini juga telah ditangkap dan dipenjara. Setelah kasus Panama Papers disebar luaskan secara serentak, dunia jurnalisme di Indonesia juga menjadi semakin berkembang. Tidak ada lagi ‘ekslusivitas’ bagi para jurnalis untuk memegang sendiri informasi yang dimiliki. Namun media pada saat ini mengejar dampak dari apa yang dihasilkan oleh isu tersebut sehingga mengedepankan untuk berkolaborasi. Media mengejar data dan menghadirkan fakta untuk diberitahukan kepada para pembaca.
Tujuan utama dari Tempo untuk ikut menyelidiki kasus Panama Papers ini bersama ICIJ adalah ingin membongkar pelarian-pelarian kekayaan perusahaan atau individu di Indonesia yang selama ini tidak terdeteksi. Tempo ingin mengabarkan kepada publik bahwa ada masalah finansial yang tidak tersentuh hukum dan tidak dapat dijangkau oleh regulasi-regulasi yang ada di Indonesia. Harapan dari Komang dan Philipus sebagai jurnalis adalah dengan terungkapnya kasus ini, pemerintah dan otoritas pajak dapat mengambil tindakan.

Menjadi Pembuka Fakta

Mengenai metode investigasi yang dilakukan oleh Tempo seperti undercover, sempat beberapa kali melakukan hal tersebut, contohnya pada kasus praktek Aborsi. Namun pada kenyataannya, menurut Philipus itu bukanlah metode yang diperbolehkan dalam kode etik jurnalisme. Karena seorang jurnalis ketika meliput berita harus memperkenalkan dirinya sebagai wartawan. Tetapi dalam kode etik jurnalistik ada pengecualian ketika meliput isu yang mempunyai aspek kepentingan publik yang luas, maka boleh dilakukan undercover dengan catatan harus di konfirmasikan lagi kepada lembaga yang bersangkutan sebelum disebarluaskan.
Banyak kendala yang dialami dalam undercover, karena jurnalis akan menjalankan perannya menjadi orang lain. Semakin lama menjalani peran orang lain tersebut, akan semakin besar resikonya penyamaran tersebut akan terbongkar. Undercover menjadi jalan terakhir ketika mencari fakta dalam memberikan informasi kepada masyarakat.
Dalam investigasi juga membutuhkan biaya yang besar. Wartawan investigasi bukan hanya datang ke suatu tempat, mencari berita dan selesai. Ketika mencari fakta, informasi bisa didapatkan dengan cara membeli secara legal. Harga yang ditentukan pun juga tidak murah, seperti informasi Panama Papers yaitu terkait perusahaan offshore yang didadaftarkan di Singapura bisa seharga 20 Dollar Singapura per company profile.
Menurut Philipus, hal penting yang tidak boleh di lupakan untuk menjadi wartawan investigasi, yaitu harus kritis, selain itu harus mempunyai wawasan yang bagus karena menjadi wartawan investigasi itu sama dengan menjadi peneliti jadi harus mencari bukti dan membandingkan bukti itu dengan standart tertentu dengang melihat ada pelanggaran atau tidak, harus mengolah data juga yang sesuai trend. Hal yang menarik ketika menjadi wartawan investigasi adalah menjadi tahu lebih banyak hal dan mengenal banyak orang baru.

Terakhir, Philipus memberikan pesan kepada calon-calon jurnalis muda agar siap menghadapi dunia jurnalis yang cukup keras ini. Yang pertama, mungkin banyak yang ingin menjadi wartawan tetapi tidak mudah untuk menjalankannya. Terlebih sekarang banyak media yang tutup seperti koran. Media online yang diharapkan menjadi masa depan juga sebenarnya tidak terlalu naik. Di zaman sekarang, orang yang ingin menjadi jurnalis adalah orang yang mungkin tidak mendapatkan pekerjaan lain atau memang karena dia mempunyai idealisme untuk menjadi seorang jurnalis. Jadi, secara teknis adalah dapat belajar atau menambah wawasan dari wartawan yang sudah berpengalaman. Yang kedua adalah harus menjadi seorang wartawan yang kreatif serta inovatif sehingga dapat menciptakan tren-tren baru dalam jurnalisme dan menjawab tantangan. Dahulu, media mendapatkan pemasukan dari iklan tetapi sekarang ada pilihan lain selain iklan sehingga lebih bervariatif. Seiring perkembangan zaman, saat ini media sosial menjadi lahan yang menjanjikan untuk mendapatkan income. Nah, produk juga perlu dipikirkan selain manajemen sumber daya. 

Komentar